Selasa, 14 Juni 2011

PERLAWANAN RAKYAT BENGKULU MASA PENJAJAHAN INGGRIS DAN BELANDA

Oleh : Agus Setiyanto

(kajian Sekilas dalam Perspektif Sejarah Kurun Abad XVII – XIX)

Mukaddimah
Dalam perspektif sejarah yang disebut “perlawanan rakyat” ini termasuk salah satu bentuk dari sebuah gerakan sosial. Dalam kajian sejarahnya, yang disebut sebagai gerakan sosial sebenarnya merupakan gejala umum yang terjadi pada masyarakat petani sebagai gerakan protes terhadap dominasi kekuasaan yang ada.[1] Sejarah gerakan sosial di Indonesia telah mencatat, bahwa selama abad ke 19 hingga awal abad ke 20 secara terus menerus telah terjadi pergolakan petani seperti pemberontakan, kerusuhan, huru-hara, kegaduhan, dan sejenisnya, yang sempat menggoncangkan tatanan masyarakat dan pemerintahan kolonial, terutama kolonial Belanda.[2]
Secara umum gerakan-gerakan sosial sebagai suatu protes merupakan suatu hal yang sangat kompleks.[3] Di wilayah Bengkulu, setidaknya telah terjadi secara menyolok dua kali peristiwa perlawanan rakyat selama masa pemerintahan kolonial Inggris (1685-1825). Perlawanan rakyat terhadap pemerintah koloni Inggris (EIC) yang pertama terjadi pada tanggal 23 Maret 1719, [4] dan yang kedua kalinya terjadi pada bulan Desember 1807 yang dikenal dengan peristiwa Mount Felix (27 Desember 1807).[5]
Sementara pada masa penjajahan Belanda di sepanjang abad ke 19, setidaknya ada tiga peristiwa penting yang tercatat dalam sejarah perlawanan rakyat Bengkulu, yaitu peristiwa 1833, peristiwa 1835, dan peristiwa 1873.
Peristiwa Attact Fort Marlborough (1719).
Jauh sebelum peristiwa penyerbuan rakyat Bengkulu ke Fort Marlborough pada tanggal 23 Maret 1719, ketegangan sosial telah terjadi antara para penguasa pribumi Bengkulu, khususnya rakyat Selebar. Ketegangan hubungan antara pihak Inggris dengan Pangeran Ingallo (Jenggalu?) – alias Pangeran Nata Diradja penguasa dari Selebar, berawal dari hubungan kontrak – perjanjian dagang. Pihak Inggris tidak senang bahkan merasa dirugikan karena Pangeran Selebar masih menjalin hubungan dagang dengan pihak Belanda. Disinyalir, rakyat Selebar serta anak keturunannya Pangeran Nata Diradja menaruh dendam atas kematian Pangeran Selebar yang diduga dibunuh oleh Inggris di Fort York pada tanggal 4 Nopember 1710.
Puncaknya ketegangannya, pada malam hari tanggal 23 Maret 1719, Fort Marlborough diserbu sekitar 80 orang yang sebagian besar diperkirakan dari suku Lembak dan Selebar – yang mengakibatkan orang-orang Inggris melarikan diri ke Batavia dan Madras. Tokoh yang diduga kuat sebagai pemimpin penyerbuan Fort Marlborough itu antara lain : Pangeran Mangkuradja dari Sungai Lemau, Pangeran Intan Ali dari Selebar, Pangeran Sungai Itam, dan juga Syed Ibrahim (Siddy Ibrahim ) yang disebutkan sebagai seorang ulama besar yang punya pengaruh pada masyarakat di pegunungan.[6]
Peristiwa Mount Felix (1807).
Mount Felix adalah sebuah nama yang diberikan oleh orang Inggris untuk menyebut sebuah kawasan perbukitan yang terletak di sebelah utara, sekitar 25 Km dari pusat kota Bengkulu. Sementara masyarakat pribumi menyebutnya sebagai Bukit Palik.
Ketegangan sosial yang terjadi selama masa pemerintahan Walter Ewer (1800-1805) tampaknya terus berkelanjutan hingga masa penggantinya, yaitu Thomas Parr. Residen Inggris ini hanya memerintah di Bengkulu selama dua tahun, yaitu dari tahun 1805-1807, yang berakhir dengan membawa kematiannya secara tragis.[7]
intervensi Thomas Parr terhadap kehidupan tradisional para kepala adat, terutama dalam hal peradilan pribumi, sering dilakukan tanpa meminta persetujuan dari para kepala adat.[8] Dengan demikian, tampak semakin kompleks ketegangan-ketegangan sosial selama masa pemerintahan Thomas Parr.
Puncak dari segala ketegangan sosial itu pada akhirnya meletus pada tanggal 27 Desember 1807. Thomas Parr dibunuh pada tanggal 27 Desember 1807 di kedimanannya di Mount Felix, yang berlokasi sekitar 3 Mil sepanjang garis pantai dari Fort Marlborough.
Menurut sebuah sumber, Thomas Parr dimakamkam di daerah tertutup di Fort Marlborough, dengan pertimbangan, untuk menghindari perasaan penduduk lokal, dan juga dikawatirkan akan digali dan dinajiskan (dikutuk) oleh penduduk lokal. Demikian juga dengan makam Charles Murray, sekretarisnya yang telah berusaha menyelamatkan Mr. Parr, dan meninggal pada tanggal 7 Januari 1808.[9]
Bagi pemerintah kolonial Inggris, bagaimana pun juga Thomas Parr tetap dianggap sebagai pahlawan karena jasa dan pengabdiannya. Oleh karena itu, pemerintah Inggris kemudian mendirikan sebuah monumen untuk mengenangnya. Monumen tersebut dibangun diatas tanah yang berlokasi tidak jauh dari pusat ibukota Bengkulu (sekitar 150 kaki) dari Fort Marlborough. Monumen yang didirikan tanggal 7 Januari 1808 itu, terdapat prasasti (memori) yang berkaitan dengan peristiwa Mount Felix.[10] Orang-orang Inggris menyebut dengan nama Parr Monument, sedangkan kelompok elite pribumi Bengkulu menyebutnya sebagai Taman Raffles (Raffles Park). Penduduk pribumi Bengkulu itu sendiri lebih akrab menyebutnya sebagai kuburan bulek.
Peristiwa 1833
Selama pemerintahan Asisten Residen J.H. Knoerle (1831-1833), posisi elite pribumi Bengkulu semakin terjepit. Dengan diaktifkannya para pegawai Eropa yang menduduki posisi sebagai posthouder, maka kekuasaan para kepala pribumi di wilayah luar ibukota semakin terbatas karena mendapat kontrol yang ketat. Tekanan dan intervensi terhadap kehidupan tradisional elite pribumi semakin dirasakan terutama yang berkaitan dengan lembaga adat yang sudah mapan.
Penghapusan gelar kepangeranan, penghapusan hak-hak tradisional para kepala pribumi yang sudah mengakar, serta mereformasi sistem pengadilan tradisional yang sudah mapan, jelas merugikan posisi elite pribumi Bengkulu. Menurutnya, pemakaian gelar pangeran bagi para kepala pribumi Bengkulu tidak perlu diteruskan karena tidak ada fungsinya, serta tidak bermanfaat bagi masyarakat, dan pemerintah Belanda, kecuali gelarregent (bupati), bagi mereka yang telah diangkatnya.[11]
Tampaknya, J.H. Knoerle tidak hanya menghapuskan gelar pangeran kepada penggantinya Pangeran Linggang Alam dari Sungai Lemau, tetapi sekaligus juga memotong tunjangan gaji tetapnya dari f. 706 (termasuk pelepasan haknya atas gelanggang adu ayam sebesar F.106) hingga menjadi f. 200 per bulannya. Selanjutnya Francis juga mencatat, bahwa semenjak meninggalnya Pangeran Khalipah Ajah (Khalipa Raja) dari Sungai Itam pada bulan September 1829, kekuasaannya sementara dibebankan kepada kedua anak laki-lakinya, sampai keduanya menentukan sendiri siapa di antaranya yang berhak menggantikannya.[12]
Demikian halnya dengan Pangeran Sungai Lemau. Tunjangan gaji Pangeran Sungai Lemau juga disunatnya. Gajinya yang semula f. 400 per bulan dipotong hingga menjadi f. 140 per bulan. Sementara itu, gaji para kepala distrik, seperti Kepala Distrik Andalas Sungai Keruh, Kepala Distrik Lima Buah Badak, dan Kepala Distrik Sillebar, hanya mendapatkan gaji sebesar f. 40 per bulan. Kecuali Kepala Distrik Lais, yaitu : Raden Muhammad Zein masih mendapat tunjangan gaji sebesar f. 100 per bulannya.[13]Demikian pula dengan penghulu (kepala) orang asing, yaitu daeng Mabella, yang semula menerima tunjangan bulanan sebesar f. 600, kemudian dipotong hingga menjadi f. 150 per bulan. Akan tetapi setelah Daeng Mabella meninggal dunia, tepatnya pada tanggal 7 Agustus 1832, jabatan penghulu orang asing ini dibiarkan kosong dengan alasan, Daeng Mabella tidak mempunyai keturunan yang sah.[14] Oleh karena kosongnya jabatan penghulu orang asing itu ternyata menimbulkan masalah, terutama stabilitas keamanan, maka Francis kemudian mengusulkan agar jabatan tersebut segera diisi kembali. Francis mengusulkan agar Raden Muhammad Zein yang sudah memegang jabatan sebagai Kepala Distrik Lais, diangkat sebagai Penghulu Orang Asing dengan gaji f. 150 per bulan. Usulan tersebut kemudian di sampaikan melalui Residen Pantai Barat Sumatra, kepada Pemerintah Pusat di Batavia.[15] Akan tetapi, karena terbentur masalah anggaran keuangan pemerintah, maka usulan pengangkatan Raden Muhammad Zein baru terealisasi pada tahun 1838, tepatnya pada tanggal 1 Oktober 1838.[16]
Sementara itu, Bupati Muko-Muko, Sultan Khalifatullah Hidayat Syah (Tuanku Seri Maharaja Chalipatullah Indiyat Shah) juga tak luput dari pemangkasan tunjangan bulanannya. Tunjangan bulanannya yang semula diterima sebesar f. 600 perbulan, kini dipangkas menjadi f. 150 per bulan. Bahkan di wilayah Muko-Muko telah di tempatkan seorang Kontrolir yang dibantu oleh 22 orang Opas (polisi Belanda), yang secara tidak langsung juga untuk mengontrol dan mengurangi ruang gerak kekuasaan Sultan Muko-Muko.[17]
Nasib Sultan Muko-Mukoini bahkan lebih tragis dibanding dengan nasib para bupati lainnya (Pangeran Sungai Lemau dan Pangeran Sungai Itam). Laporan de Perez yang disampaikan kepada Dewan Hindia, Komisaris Pemerintah untuk Sumatra di Batavia, menyebutkan bahwa Knoerle telah menurunkan Bupati Muko-Muko, karena dianggap menindas rakyatnya. Bupati Muko-Muko tersebut kemudian di bawanya ke ibukota Bengkulu, dan akhirnya meninggal di Bengkulu pada awal tahun 1834.[18]
Posisi para bupati, serta para kepala pribumi lainnya, termasuk anak keturunannya benar-benar mendapat tekanan yang berat selama masa pemerintahan Belanda di bawah kepemimpinan Asisten Residen J.H. Knoerle.
Reformasi di bidang hukum (pengadilan) yang dilaksanakan oleh J.H. Knoerle tidak hanya berdampak bagi surutnya pendapatan bagi para kepala pribumi dan anak keturunannya, tetapi juga membawa akibat jatuhnya prestise mereka di dalam masyarakat tradisionalnya.Sebaliknya, J.H. Knoerle menganggap bahwa golongan anak raja (anak keturunan elite pribumi) sangat berbahaya bagi masyarakat, dan merugikan pemerintah Belanda.
Dalam sistem pengadilan sebelumnya, golongan anak raja ini selalu lepas dari jeratan tindak pidana kriminal, meskipun telah melakukan pelanggaran tindak kriminal. Oleh sebab itulah, Knoerle lalu menerapkan sistem pengadilan yang keras terhadap mereka. Beberapa dari mereka ada yang terkena vonis hukuman mati, dan dipecat dari pekerjaannya, serta ada pula yang dibuang ke Pulau Jawa.[19]
Tindakan Knoerle yang terlalu keras terhadap para kepala pribumi dan tradisinya ini jelas bertentangan dengan kebijaksanaan politik pemerintah kolonial Belanda itu sendiri. Dalam hal ini, Komisaris Jendral Van Der Capellen pernah menginstruksikan agar para pegawai Eropa memperkokoh posisi para bupati serta mendukung sistem pewarisan jabatannya. Instruksi itu kemudian dituangkan melalui Surat Keputusan Gubernur Batavia tertanggal 21 Desember 1827, nomor: 15. Intinya menganjurkan agar para pegawai Eropa menyambut para bupati dan para kepala pribumi lainnnya dengan ramah-tamah, serta memperlakukan dengan penuh hormat sesuai dengan kedudukan dan jabatannya. Hal ini perlu dilakukan untuk menjaga stabilitas keamanan serta memupuk rasa persahabatan baik dengan para kepala pribumi maupun dengan rakyat bawahannya.[20]
Tindakan keras yang dilakukan oleh Knoerle ini juga mendapat kecaman dari Francis, pengganti sementara setelah kematian Knoerle. Menurut Francis, penghapusan lembaga adat daerah, seperti penghapusan gelar kepangeranan, serta hak-hak tradisional para kepala pribumi di Bengkulu, tidak hanya memutuskan ikatan pemerintahan tradisional dengan pemerintah Belanda, tetapi juga akan menimbulkan gejolak sosial.[21]Selanjutnya, Francis juga memberikan komentarnya mengenai penyebab terbunuhnya Asisten Residen Knoerle. Dikatakan, bahwa akibat tindakannya yang terburu-buru itu telah menimbulkan berbagai macam persoalan yang dihadapinya, sehingga Knoerle harus menebus dengan nyawanya.[22]
Posisi para kepala pribumi dan anak keturunannya justru semakin tertekan kehidupan tradisionalnya. Intervensi yang terlalu mendalam dalam kehidupan tradisional para kepala pribumi telah menimbulkan sikap antipati. Sikap antipati para kepala pribumi ini jelas sangat merugikan pemerintah kolonial Belanda dalam rangka eksploitasinya.
Akibat intervensi yang terlalu mendalam terhadap kehidupan tradisional para kepala pribumi serta tindakan yang sewenang-wenang itulah yang diduga kuat telah membawa kematian Knoerle.[23] Peristiwa terbunuhnya Asisten Residen Knoerle ini telah mengundang perhatian serius pemerintah pusat Batavia. Komisaris Jendral Van den Bosch selaku peletak dasar dari sistem tanam paksa pun datang ke Bengkulu untuk mempelajari kasus itu.[24] Setelah dipelajari dengan seksama, akhirnya diputuskan untuk tidak akan mengambil tindakan yang keras terhadap para kepala pribumi dan rakyatnya yang telah terlibat dalam pembunuhan itu. Sebaliknya, van den Bosch menyarankan agar para pegawai Eropa lebih berhati-hati serta bersikap lunak terhadap para kepala pribumi dan penduduk Bengkulu.[25]
Peristiwa 1835, 1838, dan 1857.
Dalam tahun 1835, telah terjadi dua kali peristiwa perlawanan rakyat terhadap pemerintah kolonial Belanda. Pertama, terjadi pada bulan Mei, rakyat disekitar dusun Tertik telah menghancurkan pos keamanan Belanda yang ada di susun Keban. Perlawanan rakyat terus berlanjut hingga bulan Juni. Sikap anti-pati Radja Malio (Depati Tjinta Mandi) dapat diketahui melalui isi suratnya yang ditujukan kepada Depati Tanjung Erang dan Proatin Benkoeloe Sabha Boekit serta anak-buahnya yang ditulis pada tanggal 26 Juni 1835. Isi suratnya menganjurkan agar tidak bekerja-sama dengan pemerintah kolonial Belanda terutama dalam hal penyediaan tenaga kerja (kuli). Tampaknya anjuran itu cukup serius karena disertai dengan ancaman, bahwa apabila ada diantara mereka yang masih bekerja-sama dengan Belanda, maka akan bermusuhan dengan Depati Tjinta Mandi yang sudah bersepakat dengan para proatin lainnya.[26]
Sistem kontrol langsung yang dilakukan oleh para ambtenar Belanda tidak saja dapat menimbulkan sikap antipati para kepala pribumi, tetapi juga dapat menimbulkan anti-pati spontan dari penduduk pribumi yang tidak suka ditekan kebebasannya. Insiden terbunuhnya seorang gezag-hebber (penguasa) di Selumah oleh orang-orang Pasyemah yang terkenal sifat kerasnya merupakan salah satu bukti anti-pati spontan penduduk pribumi terhadap pemerintah kolonial Belanda. Insiden yang menewaskan Tuan Boss itu terjadi pada tanggal 28 Juni 1835, ketika orang-orang Pasyemah yang akan pergi ke Bengkulu (ibukota) ditahan di perjalannya oleh Tuan Boss dan akan dirampas senjata mereka.[27]
Orang-orang Pasyemah memang terkenal sangat keras sejak zaman Inggris di Bengkulu. Sebagai kelompok preman mereka tidak mempunyai pekerjaan selain sebagai pencuri, penyamun, dan perampok yang selalu disertai dengan tindak kekerasan, bahkan tidak segan-segan melakukan pembunuhan terhadap siapapun yang dianggap menghalanginya. Menurut laporan para kepala pribumi di Selumah, orang-orang Pasyemah di samping telah membunuh Tuan Boss, juga telah merusak dan menyerbu beberapa dusun di Distrik Selumah dan Distrik Talllo. Tindakan brutal yang dilakukan oleh orang-orang Pasyemah itu tidak hanya menimbulkan rasa takut di kalangan pejabat birokrat kolonial saja, tetapi juga di kalangan kepala pribumi dan penduduk pribumi lainnya.[28]
Perlawanan rakyat pegunungan suku Rejang terhadap Belanda telah terjadi pada tahun 1838, yang mengakibatkan terbunuhnya Asisten Residen Boogard. Perlawanan rakyat suku Rejang terus berlanjut hingga tahun 1857. [29] Perlawanan rakyat dari dusun Tumedak, Tertik, Taba Padang, dan Kelilik juga mengakibatkan tewasnya seorang kapten Belanda yang bernama Deleau yang dikenal angkuh bahkan melecehkan penduduk, terutama para kepala dusunnya (Ginde). Disinyalir tokoh yang berada dibalik peristiwa Tumedak diketahui bernama Rajo Alam, Ginde Sebetok, dan Ginde Ubei.
Peristiwa 1873
Kebijakan politik kolonial Belanda tentang penerapan sistem pajak kepala - “hoodfbelasting” dianggap sebagai pemicu utama timbulnya perlawanan rakyat. Namun demikian, kebijakan politik kolonial Belanda sebelumnya juga memmpunyai andil yang cukup penting dalam memicu gerakan perlawanan anti penjajah.
Penghapusan “regentenbestuur” (pemerintahan bupati) telah mengakibatkan sikap antipati para elite pribumi Bengkulu. Seperti yang terjadi pada Pangeran Muhamad Syah II dari wilayah Sungai Lemau yang telah dibebas tugaskan dari jabatan regent secara resmi melalui Surat Keputusan Pemerintah tertanggal 5 Desember 1861 La Me yang sifatnya rahasia.[30] Pada tanggal 25 Desember 1862, Pangeran Bangsa Negara juga telah dibebastugaskan dari jabatan Regent Sungai Itam melalui Surat Keputusan Pemerintah tertanggal 25 Desember 1862, Surat Rahasia La K.[31] Jabatan Regent Sungai Itam itu tetap dibiarkan kosong, hingga Pangeran Bangsa Negara sendiri telah meninggal pada tanggal 6 Januari 1863.[32] Sultan Takdir Kalipa Tullah Syah. Sultan Muko-Muko pun telah dibebastugaskan dari jabatan regent melalui surat Keputusan Pemerintah Hindia - Belanda tertanggal 22 April 1870, nomor. 41.[33]
Dalam tahun 1873, setidaknya tercatat ada dua perstiwa perlawanan rakyat terhadap pemerintah kolonial Belanda. Perlawanan rakyat dari dusun Tanjung Terdanapada bulan April yang dimotori oleh Burniat dan Meradayan nyaris melumpuhkan pusat pemerintahan kolonial Belanda di Fort Marlborough – bahkan nyaris mengancam nyawa Asisten Residen H.C. Humme. Munculnya perlawanan rakyat Tanjung Terdana, selain dipicu oleh pajak kepala “hoofdbelasting” juga karena kebijakan penghapusan “regenten bestuur” Menurut sebuah sumber, peristiwa penyerangan tersebut dilakukan pada tanggal 18 April 1873. [34]
Demikian juga perlawanan rakyat dari Bintunan yang dipelopori oleh pasirah Mardjati – yang lebih dikenal dengan nama Ratu Samban. Menurut catatan sejarah, peristiwa tersebut terjadi pada tanggal 2 September 1873 yang menewaskan Asisten Residen Vam Amstel dan Controleur E.F.W. Castens.[35]
PENUTUP
Sesungguhnya, sejarah itu sendiri - history as story (sejarah sebagai kisah) hanyalah bagian kecil dari totalitas rentetan kejadian – history as actually (sejarah sebagai peristiwa) yang begitu cepat berlalu dan tak mungkin terulang kembali. Karenanya, tanpa adanya jejak peristiwa, sejarah nyaris takkan hadir – yang ada mungkin hanyalah berupa dongeng – kronik belaka. Sejarah adalah kronik yang hidup, sedangkan kronik adalah sejarah yang mati, demikian ungkapan dari Beneditto Croce – dan lebih ditegaskan lagi “no document no history”.
Sejarah perlawanan rakyat Bengkulu pada masa penjajahan Inggris (1685-1825) hingga berlanjut pada masa penjajahan Belanda (1825-1842) sebenarnya tak cukup untuk ditulis dalam makalah yang serba amat terbatas ini. Juga diakui bahwa masih minimnya berbagai dokumen sejarah yang membuktikan peristiwa perlawanan rakyat Bengkulu disepanjang sejarahnya, menyebabkan penulisan sejarahnya menjadi kurang lengkap dan kurang detail.
Sayang, jejak - bukti peristiwanya pun sudah banyak yang lenyap ditelan jaman – dan sebagiannya lagi yang masih berjejak nampaknya belum juga tersentuh secara maksimal sebagai warisan sejarah budaya Bengkulu. Oleh karenanya, diperlukan “good will” baik melalui kebijakan pemerintah daerah setempat, maupun kesadaran sejarah masyarakatnya.
Pelacakan dokumen sejarah berupa arsip-arsip yang tersebar diberbagai tempat, amat diperlukan, sehingga penulisan sejarah masyarakat Bengkulu akan semakin lengkap. Dengan kata lain, disarankan kepada pihak pemerintah setempat yang berwenang menangani masalah kearsipan dapat segera melaksanakan kebijakan untuk melacak – mengiventarisasi hingga mengkoleksi berbagai dokumen – arsip yang masih tersimpan diberbagai tempat. Sebagai bahan informasi, arsip khusus Bengkulu yang tersimpan di kantor Arsip Nasional RI dengan kode “Bengkoelen” nomor 38 kondisinya mungkin semakin rapuh dibanding dengan kondisi 15 tahun yang lalu ketika penulis sedang melakukan kajian literatur disana. ——————–(Bengkulu, 17 Mei 2008).

Indonesia Pada Masa Penjajahan Inggris

Inggris menyerbu pulau jawa pada saat Deandels telah dipanggil kembali ke Eropa. Penggantinya tidak mampu menahan serangan Inggris. Dengan demikian mulailah zaman baru dalam sejarah kolonial di Indonesia
Oleh pemerintah Inggris, Jawa dijadikan bagian dari jajahannya di India. Thomas Stamford Raffles dianggap sebagai Wakil Gubernur (Lieutenant Governor) di Indonesia untuk mewakili raja muda (Viceroy) Lord Minto yang berkedudukan di India. Sebagai orang yang beraliran liberal, Raffles ingin mengadakan perubahan-perubahan dalam sistem pemerintahan di Indonesia termasuk dalam bidang ekonomi.
Ia hendak melaksanakan kebijakan ekonomi yang didasarkan pada dasar-dasar kebebasan sesuai ajaran liberalisme. Maka dalam masa pemerintahannya (1811-1816) Raffles mencoba untuk melaksanakan kebijaksanaan sebagai berikut : 
 Menghapus segala bentuk penyerahan wajib dan kerja paksa atau rodi. Rakyat diberi kebebasan untuk menanami tanahnya dengan tanaman-tanaman yang dianggap menguntungkan.
 Mengadakan pergantian sistem pemerintahan yang semula dilakukan oleh penguasa pribumi dengan sistem pemarintahan kolonial yang bercorak barat.
 Raffles menganggap bahwa pemerintah kolonial adalah pemilik semua tanah yang ada di daerah jajahan. Karena itu Raffles menganggap bahwa yang menggarap sawah adalah penyewa dari tanah pemerintah.
 Para petani mempunyai kewajiban membayar sewa tanah pada pemerintah. Sewa tanah atau landrent itu harus diserahkan sebagai suatu pajak atas pemakaian tanah pemerintah oleh penduduk.
Sesungguhnya sistem sewa yang diperkenalkan oleh Raffles itu mengandung maksud yang luas . Sistem tersebut dimaksudkan untuk membebaskan beban kehidupan dari pundak penduduk, dan memberikan kebebasan atas tanah yang dimiliki oleh petani. Mereka membayangkan apabila paea petani memiliki kebebasan untuk menanami tanahnya dan menjual hasilpanennya secara bebas maka, mereka akan terangsang untuk bekerja giat demi hasil yang dinikmati sendiri. Padahal sistem sewa tersebut sangat merugikan para petani karena mereka harus menyerahkan sewa kepada pemerintah. Akibatnya para petani enggan bekerja giat untuk mengolah tanahnya. 
Dalam pelaksanaannya sistem sewa tanah ini membawa banyak akibat. Sistem sewa tanah telah menimbulkan perubahan-perubahan penting yaitu: 
 Unsur-unsur pakasaan diganti dengan unsure kebebasan, sukarela, dan hubungan perjanjian atau kontak.
 Hubungan antar pemerintah dengan rakyat didasari oleh sifat kontak yang merupakan hal baru bagi penduduk tanah jajahan.
 Dalam kehidupan sosial dan budaya ikatan adapt istiadat yang secara turun-temurun telah berjalan menjadi semakin longgar karena pengaruh adapt kehidupan yang bercorak barat.
 Demikian pula kehidupan ekonomi barang hendak diganti dengan ekonomi uang.
Masa pemerintahan Raffles di tanah penjajahan ini tidak lama. Dalam masa pemerintahannya itu, ia menghadapi banyak kesulitan:
o Keuangan Negara dan pegawai-pegawai yang cakap jumlahnya terbatas.
o Masyarakat Indonesia pada waktu itu berbeda dengan masyarakat India yang telah mengenal perdngangan eksport yang ramai dan mengenal ekonomi uang.
o Ekonomi desa belum memungkinkan petani untuk memperoleh uang sebagai pengganti hasil bumi.
o Belum ada pengukuran tanah milik penduduk secara tepat.
o Pungutan pajak tanah atau sewa tanah mengalami kesulitan.
Sekalipun demikian pengaruh dari usaha Raffles cukup berarti pula. Usaha untuk mengurangi kekuasaan para bupati terhadap pendduk pribumi menjadi dasar untuk masa pemerintahan berikutnya. Demikian pula system sewa tanah, sekalipun gagal dilakukan dilanjutkan oleh pemerintah Belanda pada masa berikutnya. Pada tahun 1816 Indonesia diserahkan kembali kepada Belanda.

Sabtu, 11 Juni 2011

G 30 S/PKI


Gerakan 30 September atau yang sering disingkat G 30 S PKIG-30S/PKIGestapu (Gerakan September Tiga Puluh), Gestok (Gerakan Satu Oktober) adalah sebuah peristiwa yang terjadi selewat malam tanggal 30 September sampai di awal 1 Oktober 1965 di mana enam pejabat tinggi militerIndonesia beserta beberapa orang lainnya dibunuh dalam suatu usaha percobaan kudeta yang kemudian dituduhkan kepada anggota Partai Komunis Indonesia.

Daftar isi

  • 1 Latar belakang
    • 1.1 Angkatan kelima
    • 1.2 Isu sakitnya Bung Karno
    • 1.3 Isu masalah tanah dan bagi hasil
    • 1.4 Faktor Malaysia
    • 1.5 Faktor Amerika Serikat
    • 1.6 Faktor ekonomi
  • 2 Peristiwa
    • 2.1 Isu Dewan Jenderal
    • 2.2 Isu Dokumen Gilchrist
    • 2.3 Isu Keterlibatan Soeharto
    • 2.4 Korban
  • 3 Pasca kejadian
    • 3.1 Penangkapan dan pembantaian
    • 3.2 Supersemar
    • 3.3 Pertemuan Jenewa, Swiss
  • 4 Peringatan


Latar belakang

PKI merupakan partai komunis yang terbesar di seluruh dunia, di luar Tiongkok dan Uni Soviet. Anggotanya berjumlah sekitar 3,5 juta, ditambah 3 juta dari pergerakan pemudanya. PKI juga mengontrol pergerakan serikat buruh yang mempunyai 3,5 juta anggota dan pergerakan petani Barisan Tani Indonesia yang mempunyai 9 juta anggota. Termasuk pergerakan wanita (Gerwani), organisasi penulis dan artis dan pergerakan sarjananya, PKI mempunyai lebih dari 20 juta anggota dan pendukung.
Pada bulan Juli 1959 parlemen dibubarkan dan Sukarno menetapkan konstitusi di bawah dekrit presiden - sekali lagi dengan dukungan penuh dari PKI. Ia memperkuat tangan angkatan bersenjata dengan mengangkat para jendral militer ke posisi-posisi yang penting. Sukarno menjalankan sistem "Demokrasi Terpimpin". PKI menyambut "Demokrasi Terpimpin" Sukarno dengan hangat dan anggapan bahwa dia mempunyai mandat untuk persekutuan Konsepsi yaitu antara Nasionalis, Agama dan Komunis yang dinamakan NASAKOM.
Pada era "Demokrasi Terpimpin", kolaborasi antara kepemimpinan PKI dan kaum burjuis nasional dalam menekan pergerakan-pergerakan independen kaum buruh dan petani, gagal memecahkan masalah-masalah politis dan ekonomi yang mendesak. Pendapatan ekspor menurun, foreign reserves menurun, inflasi terus menaik dan korupsi birokrat dan militer menjadi wabah.

Perayaan Milad PKI yang ke 45 di Jakarta pada awal tahun 1965
Pada kunjungan Menlu Subandrio ke TiongkokPerdana Menteri Zhou Enlai memberikan 100.000 pucuk senjata chung. Penawaran ini gratis tanpa syarat dan kemudian dilaporkan ke Bung Karno tetapi belum juga menetapkan waktunya sampai meletusnya G30S. Pada bulan Juli 1959 parlemen dibubarkan dan Sukarno menetapkan konstitusi di bawah dekrit presiden - sekali lagi dengan hasutan dari PKI. Ia memperkuat tangan angkatan bersenjata dengan mengangkat para jendral militer ke posisi-posisi yang penting. Sukarno menjalankan sistem "Demokrasi Terpimpin". PKI menyambut "Demokrasi Terpimpin" Sukarno dengan hangat dan anggapan bahwa dia mempunyai mandat untuk persekutuan Konsepsi yaitu antara Nasionalis, Agama dan Komunis yang dinamakan NASAKOM.
Pada era "Demokrasi Terpimpin", kolaborasi antara kepemimpinan PKI dan nasionalis dalam menekan pergerakan-pergerakan independen kaum buruh dan petani, gagal memecahkan masalah-masalah politis dan ekonomi yang mendesak. Pendapatan ekspor menurun, foreign reserves menurun, inflasi terus menaik dan korupsi birokrat dan militer menjadi wabah.

Angkatan kelima

Pada kunjungan Menlu Subandrio ke TiongkokPerdana Menteri Zhou Enlai menjanjikan 100.000 pucuk senjata jenis chung, penawaran ini gratis tanpa syarat dan kemudian dilaporkan ke Bung Karno tetapi belum juga menetapkan waktunya sampai meletusnya G30S.
Pada awal tahun 1965 Bung Karno atas saran dari PKI akibat dari tawaran perdana mentri RRC, mempunyai ide tentang Angkatan Kelimayang berdiri sendiri terlepas dari ABRI. Tetapi petinggi Angkatan Darat tidak setuju dan hal ini lebih menimbulkan nuansa curiga-mencurigai antara militer dan PKI.
Dari tahun 1963, kepemimpinan PKI makin lama makin berusaha memprovokasi bentrokan-bentrokan antara aktivis massanya dan polisi dan militer. Pemimpin-pemimpin PKI juga menginfiltrasi polisi dan tentara denga slogan "kepentingan bersama" polisi dan "rakyat". Pemimpin PKI DN Aidit mengilhami slogan "Untuk Ketentraman Umum Bantu Polisi". Di bulan Agustus 1964, Aidit menganjurkan semua anggota PKI membersihkan diri dari "sikap-sikap sektarian" kepada angkatan bersenjata, mengimbau semua pengarang dan seniman sayap-kiri untuk membuat "massa tentara" subyek karya-karya mereka.
Di akhir 1964 dan permulaan 1965 ribuan petani bergerak merampas tanah yang bukan hak mereka atas hasutan PKI. Bentrokan-bentrokan besar terjadi antara mereka dan polisi dan para pemilik tanah.
Bentrokan-bentrokan tersebut dipicu oleh propaganda PKI yang menyatakan bahwa petani berhak atas setiap tanah, tidak peduli tanah siapa pun (milik negara=milik bersama). Kemungkinan besar PKI meniru revolusi Bolsevik di Rusia, di mana di sana rakyat dan partai komunis menyita milik Tsar dan membagi-bagikannya kepada rakyat.
Pada permulaan 1965, para buruh mulai menyita perusahaan-perusahaan karet dan minyak milik Amerika Serikat. Kepemimpinan PKI menjawab ini dengan memasuki pemerintahan dengan resmi. Pada waktu yang sama, jendral-jendral militer tingkat tinggi juga menjadi anggota kabinet. Jendral-jendral tersebut masuk kabinet karena jabatannya di militer oleh Sukarno disamakan dengan setingkat mentri. Hal ini dapat dibuktikan dengan nama jabatannya (Menpangab, Menpangad, dan lain-lain).
Menteri-menteri PKI tidak hanya duduk di sebelah para petinggi militer di dalam kabinet Sukarno ini, tetapi mereka terus mendorong ilusi yang sangat berbahaya bahwa angkatan bersenjata adalah merupakan bagian dari revolusi demokratis "rakyat".

Pengangkatan Jenazah di Lubang Buaya
Aidit memberikan ceramah kepada siswa-siswa sekolah angkatan bersenjata di mana ia berbicara tentang "perasaan kebersamaan dan persatuan yang bertambah kuat setiap hari antara tentara Republik Indonesia dan unsur-unsur masyarakat Indonesia, termasuk para komunis".
Rejim Sukarno mengambil langkah terhadap para pekerja dengan melarang aksi-aksi mogok di industri. Kepemimpinan PKI tidak berkeberatan karena industri menurut mereka adalah milik pemerintahan NASAKOM.
Tidak lama PKI mengetahui dengan jelas persiapan-persiapan untuk pembentukan rejim militer, menyatakan keperluan untuk pendirian "angkatan kelima" di dalam angkatan bersenjata, yang terdiri dari pekerja dan petani yang bersenjata. Bukannya memperjuangkan mobilisasi massa yang berdiri sendiri untuk melawan ancaman militer yang sedang berkembang itu, kepemimpinan PKI malah berusaha untuk membatasi pergerakan massa yang makin mendalam ini dalam batas-batas hukum kapitalis negara. Mereka, depan jendral-jendral militer, berusaha menenangkan bahwa usul PKI akan memperkuat negara. Aidit menyatakan dalam laporan ke Komite Sentral PKI bahwa "NASAKOMisasi" angkatan bersenjata dapat dicapai dan mereka akan bekerjasama untuk menciptakan "angkatan kelima". Kepemimpinan PKI tetap berusaha menekan aspirasi revolusioner kaum buruh di Indonesia. Di bulan Mei 1965, Politbiro PKI masih mendorong ilusi bahwa aparatus militer dan negara sedang diubah untuk memecilkan aspek anti-rakyat dalam alat-alat negara.

Isu sakitnya Bung Karno

Sejak tahun 1964 sampai menjelang meletusnya G30S telah beredar isu sakit parahnya Bung Karno. Hal ini meningkatkan kasak-kusuk dan isu perebutan kekuasaan apabila Bung Karno meninggal dunia. Namun menurut Subandrio, Aidit tahu persis bahwa Bung Karno hanya sakit ringan saja, jadi hal ini bukan merupakan alasan PKI melakukan tindakan tersebut.
Tahunya Aidit akan jenis sakitnya Sukarno membuktikan bahwa hal tersebut sengaja dihembuskan PKI untuk memicu ketidakpastian di masyarakat.

Isu masalah tanah dan bagi hasil

Pada tahun 1960 keluarlah Undang-Undang Pokok Agraria (UU Pokok Agraria) dan Undang-Undang Pokok Bagi Hasil (UU Bagi Hasil) yang sebenarnya merupakan kelanjutan dari Panitia Agraria yang dibentuk pada tahun 1948. Panitia Agraria yang menghasilkan UUPA terdiri dari wakil pemerintah dan wakil berbagai ormas tani yang mencerminkan 10 kekuatan partai politik pada masa itu. Walaupun undang-undangnya sudah ada namun pelaksanaan di daerah tidak jalan sehingga menimbulkan gesekan antara para petani penggarap dengan pihak pemilik tanah yang takut terkena UUPA, melibatkan sebagian massa pengikutnya dengan melibatkan backing aparat keamanan. Peristiwa yang menonjol dalam rangka ini antara lain peristiwa Bandar Betsi di Sumatera Utara dan peristiwa di Klaten yang disebut sebagai ‘aksi sepihak’ dan kemudian digunakan sebagai dalih oleh militer untuk membersihkannya.
Keributan antara PKI dan islam (tidak hanya NU, tapi juga dengan Persis dan Muhammadiya) itu pada dasarnya terjadi di hampir semua tempat di Indonesia, di Jawa Barat, Jawa Timur, dan di propinsi-propinsi lain juga terjadi hal demikian, PKI di beberapa tempat bahkan sudah mengancam kyai-kyai bahwa mereka akan disembelih setelah tanggal 30 September 1965 (hal ini membuktikan bahwa seluruh elemen PKI mengetahui rencana kudeta 30 September tersebut).
Faktor Malaysia
Negara Federasi Malaysia yang baru terbentuk pada tanggal 16 September 1963 adalah salah satu faktor penting dalam insiden ini[1].Konfrontasi Indonesia-Malaysia merupakan salah satu penyebab kedekatan Presiden Soekarno dengan PKI, menjelaskan motivasi para tentara yang menggabungkan diri dalam gerakan G30S/Gestok (Gerakan Satu Oktober), dan juga pada akhirnya menyebabkan PKI melakukan penculikan petinggi Angkatan Darat.
Sejak demonstrasi anti-Indonesia di Kuala Lumpur, di mana para demonstran menyerbu gedung KBRI, merobek-robek fotoSoekarno, membawa lambang negara Garuda Pancasila ke hadapan Tunku Abdul RahmanPerdana Menteri Malaysiasaat itu—dan memaksanya untuk menginjak Garuda, amarah Soekarno terhadap Malaysia pun meledak.
Soekarno yang murka karena hal itu mengutuk tindakan Tunku yang menginjak-injak lambang negara Indonesia[2] dan ingin melakukan balas dendam dengan melancarkan gerakan yang terkenal dengan sebutan "Ganyang Malaysia" kepada negara Federasi Malaysia yang telah sangat menghina Indonesia dan presiden Indonesia. Perintah Soekarno kepada Angkatan Darat untuk meng"ganyang Malaysia" ditanggapi dengan dingin oleh para jenderal pada saat itu. Di satu pihak Letjen Ahmad Yani tidak ingin melawan Malaysia yang dibantu oleh Inggris dengan anggapan bahwa tentara Indonesia pada saat itu tidak memadai untuk peperangan dengan skala tersebut, sedangkan di pihak lainKepala Staf TNI Angkatan Darat A.H. Nasution setuju dengan usulan Soekarno karena ia mengkhawatirkan isu Malaysia ini akan ditunggangi oleh PKI untuk memperkuat posisinya di percaturan politik di Indonesia.
Posisi Angkatan Darat pada saat itu serba salah karena di satu pihak mereka tidak yakin mereka dapat mengalahkan Inggris, dan di lain pihak mereka akan menghadapi Soekarno yang mengamuk jika mereka tidak berperang. Akhirnya para pemimpin Angkatan Darat memilih untuk berperang setengah hati di Kalimantan. Tak heran, Brigadir Jenderal Suparjo, komandan pasukan di Kalimantan Barat, mengeluh, konfrontasi tak dilakukan sepenuh hati dan ia merasa operasinya disabotase dari belakang[3]. Hal ini juga dapat dilihat dari kegagalan operasi gerilya di Malaysia, padahal tentara Indonesia sebenarnya sangat mahir dalam peperangan gerilya.
Mengetahui bahwa tentara Indonesia tidak mendukungnya, Soekarno merasa kecewa dan berbalik mencari dukungan PKI untuk melampiaskan amarahnya kepada Malaysia. Soekarno, seperti yang ditulis di otobiografinya, mengakui bahwa ia adalah seorang yang memiliki harga diri yang sangat tinggi, dan tidak ada yang dapat dilakukan untuk mengubah keinginannya meng"ganyang Malaysia".
Soekarno adalah seorang individualis. Manusia jang tjongkak dengan suara-batin yang menjala-njala, manusia jang mengakui bahwa ia mentjintai dirinja sendiri tidak mungkin mendjadi satelit jang melekat pada bangsa lain. Soekarno tidak mungkin menghambakan diri pada dominasi kekuasaan manapun djuga. Dia tidak mungkin menjadi boneka.
Di pihak PKI, mereka menjadi pendukung terbesar gerakan "ganyang Malaysia" yang mereka anggap sebagai antek Inggris, antek nekolim. PKI juga memanfaatkan kesempatan itu untuk keuntungan mereka sendiri, jadi motif PKI untuk mendukung kebijakan Soekarno tidak sepenuhnya idealis.
Pada saat PKI memperoleh angin segar, justru para penentangnyalah yang menghadapi keadaan yang buruk; mereka melihat posisi PKI yang semakin menguat sebagai suatu ancaman, ditambah hubungan internasional PKI dengan Partai Komunis sedunia, khususnya dengan adanya poros Jakarta-Beijing-Moskow-Pyongyang-Phnom Penh. Soekarno juga mengetahui hal ini, namun ia memutuskan untuk mendiamkannya karena ia masih ingin meminjam kekuatan PKI untuk konfrontasi yang sedang berlangsung, karena posisi Indonesia yang melemah di lingkungan internasional sejak keluarnya Indonesia dari PBB (20 Januari 1965).
Dari sebuah dokumen rahasia badan intelejen Amerika Serikat (CIA) yang baru dibuka yang bertanggalkan 13 Januari 1965 menyebutkan sebuah percakapan santai Soekarno dengan para pemimpin sayap kanan bahwa ia masih membutuhkan dukungan PKI untuk menghadapi Malaysia dan oleh karena itu ia tidak bisa menindak tegas mereka. Namun ia juga menegaskan bahwa suatu waktu "giliran PKI akan tiba. "Soekarno berkata, "Kamu bisa menjadi teman atau musuh saya. Itu terserah kamu. ... Untukku, Malaysia itu musuh nomor satu. Suatu saat saya akan membereskan PKI, tetapi tidak sekarang."[2]
Dari pihak Angkatan Darat, perpecahan internal yang terjadi mulai mencuat ketika banyak tentara yang kebanyakan dari Divisi Diponegoroyang kesal serta kecewa kepada sikap petinggi Angkatan Darat yang takut kepada Malaysia, berperang hanya dengan setengah hati, dan berkhianat terhadap misi yang diberikan Soekarno. Mereka memutuskan untuk berhubungan dengan orang-orang dari PKI untuk membersihkan tubuh Angkatan Darat dari para jenderal ini.

Faktor Amerika Serikat

Amerika Serikat pada waktu itu sedang terlibat dalam perang Vietnam dan berusaha sekuat tenaga agar Indonesia tidak jatuh ke tangankomunisme. Peranan badan intelejen Amerika Serikat (CIA) pada peristiwa ini sebatas memberikan 50 juta rupiah (uang saat itu) kepadaAdam Malik dan walkie-talkie serta obat-obatan kepada tentara Indonesia. Politisi Amerika pada bulan-bulan yang menentukan ini dihadapkan pada masalah yang membingungkan karena mereka merasa ditarik oleh Sukarno ke dalam konfrontasi Indonesia-Malaysia ini.
Salah satu pandangan mengatakan bahwa peranan Amerika Serikat dalam hal ini tidak besar, hal ini dapat dilihat dari telegram Duta Besar Green ke Washington pada tanggal 8 Agustus 1965 yang mengeluhkan bahwa usahanya untuk melawan propaganda anti-Amerika di Indonesia tidak memberikan hasil bahkan tidak berguna sama sekali. Dalam telegram kepada Presiden Johnson tanggal 6 Oktober, agen CIA menyatakan ketidakpercayaan kepada tindakan PKI yang dirasa tidak masuk akal karena situasi politis Indonesia yang sangat menguntungkan mereka, dan hingga akhir Oktober masih terjadi kebingungan atas pembantaian di Jawa TengahJawa Timur, dan Balidilakukan oleh PKI atau NU/PNI.
Pandangan lain, terutama dari kalangan korban dari insiden ini, menyebutkan bahwa Amerika menjadi aktor di balik layar dan setelah dekrit Supersemar Amerika memberikan daftar nama-nama anggota PKI kepada militer untuk dibunuh. Namun hingga saat ini kedua pandangan tersebut tidak memiliki banyak bukti-bukti fisik.

Faktor ekonomi

Ekonomi masyarakat Indonesia pada waktu itu yang sangat rendah mengakibatkan dukungan rakyat kepada Soekarno (dan PKI) meluntur. Mereka tidak sepenuhnya menyetujui kebijakan "ganyang Malaysia" yang dianggap akan semakin memperparah keadaan Indonesia.
Inflasi yang mencapai 650% membuat harga makanan melambung tinggi, rakyat kelaparan dan terpaksa harus antri beras, minyak, gula, dan barang-barang kebutuhan pokok lainnya. Beberapa faktor yang berperan kenaikan harga ini adalah keputusan Suharto-Nasution untuk menaikkan gaji para tentara 500% dan penganiayaan terhadap kaum pedagang Tionghoa yang menyebabkan mereka kabur. Sebagai akibat dari inflasi tersebut, banyak rakyat Indonesia yang sehari-hari hanya makan bonggol pisangumbi-umbian, gaplek, serta bahan makanan yang tidak layak dikonsumsi lainnya; pun mereka menggunakan kain dari karung sebagai pakaian mereka.
Faktor ekonomi ini menjadi salah satu sebab kemarahan rakyat atas pembunuhan keenam jenderal tersebut, yang berakibat adanyabacklash terhadap PKI dan pembantaian orang-orang yang dituduh anggota PKI di Jawa Tengah, Jawa Timur, Bali serta tempat-tempat lainnya.

Peristiwa


Sumur Lubang Buaya
Pada 1 Oktober 1965 dini hari, enam jenderal senior dan beberapa orang lainnya dibunuh dalam upaya kudeta yang disalahkan kepada para pengawal istana (Cakrabirawa) yang dianggap loyal kepada PKI dan pada saat itu dipimpin oleh Letkol. Untung. Panglima Komando Strategi Angkatan Darat saat itu, Mayjen Soeharto kemudian mengadakan penumpasan terhadap gerakan tersebut.

[sunting]Isu Dewan Jenderal

Pada saat-saat yang genting sekitar bulan September 1965 muncul isu adanya Dewan Jenderalyang mengungkapkan adanya beberapa petinggi Angkatan Darat yang tidak puas terhadap Soekarno dan berniat untuk menggulingkannya. Menanggapi isu ini, Soekarno disebut-sebut memerintahkan pasukan Cakrabirawa untuk menangkap dan membawa mereka untuk diadili oleh Soekarno. Namun yang tidak diduga-duga, dalam operasi penangkapan jenderal-jenderal tersebut, terjadi tindakan beberapa oknum yang termakan emosi dan membunuh Letjen Ahmad Yani, Panjaitan, dan Harjono. GBU

Isu Dokumen Gilchrist

Dokumen Gilchrist yang diambil dari nama duta besar Inggris untuk Indonesia Andrew Gilchrist beredar hampir bersamaan waktunya dengan isu Dewan Jenderal. Dokumen ini, yang oleh beberapa pihak disebut sebagai pemalsuan oleh intelejen Ceko di bawah pengawasan Jenderal Agayant dari KGB Rusia, menyebutkan adanya "Teman Tentara Lokal Kita" yang mengesankan bahwa perwira-perwira Angkatan Darat telah dibeli oleh pihak Barat[4]. Kedutaan Amerika Serikat juga dituduh memberikan daftar nama-nama anggota PKI kepada tentara untuk "ditindaklanjuti". Dinas intelejen Amerika Serikat mendapat data-data tersebut dari berbagai sumber, salah satunya seperti yang ditulis John Hughes, wartawan The Nation yang menulis buku "Indonesian Upheaval", yang dijadikan basis skenario film "The Year of Living Dangerously", ia sering menukar data-data apa yang ia kumpulkan untuk mendapatkan fasilitas teleks untuk mengirimkan berita. EFERON BATUBARA

Isu Keterlibatan Soeharto

Hingga saat ini tidak ada bukti keterlibatan/peran aktif Soeharto dalam aksi penculikan tersebut. Satu-satunya bukti yang bisa dielaborasi adalah pertemuan Soeharto yang saat itu menjabat sebagai Pangkostrad (pada zaman itu jabatan Panglima Komando Strategis Cadangan Angkatan Darat tidak membawahi pasukan, berbeda dengan sekarang) dengan Kolonel Abdul Latief di Rumah Sakit Angkatan Darat.
Meski demikian, Suharto merupakan pihak yang paling diuntungkan dari peristiwa ini. Banyak penelitian ilmiah yang sudah dipublikasikan di jurnal internasional mengungkap keterlibatan Suharto dan CIA. Beberapa diantaranya adalah karya Benedict R.O'G. Anderson and Ruth T. McVey (Cornell University), Ralph McGehee (The Indonesian Massacres and the CIA), Government Printing Office of the US (Department of State, INR/IL Historical Files, Indonesia, 1963-1965. Secret; Priority; Roger Channel; Special Handling), John Roosa (Pretext for Mass Murder: The September 30th Movement and Suharto's Coup d'État in Indonesia), Prof. Dr. W.F. Wertheim (Serpihan Sejarah Th65 yang Terlupakan).

Korban

Keenam pejabat tinggi yang dibunuh tersebut adalah:
  • Letjen TNI Ahmad Yani (Menteri/Panglima Angkatan Darat/Kepala Staf Komando Operasi Tertinggi)
  • Mayjen TNI Raden Suprapto (Deputi II Menteri/Panglima AD bidang Administrasi)
  • Mayjen TNI Mas Tirtodarmo Haryono (Deputi III Menteri/Panglima AD bidang Perencanaan dan Pembinaan)
  • Mayjen TNI Siswondo Parman (Asisten I Menteri/Panglima AD bidang Intelijen)
  • Brigjen TNI Donald Isaac Panjaitan (Asisten IV Menteri/Panglima AD bidang Logistik)
  • Brigjen TNI Sutoyo Siswomiharjo (Inspektur Kehakiman/Oditur Jenderal Angkatan Darat)
Jenderal TNI Abdul Harris Nasution yang menjadi sasaran utama, selamat dari upaya pembunuhan tersebut. Sebaliknya, putrinya Ade Irma Suryani Nasution dan ajudan beliau, Lettu CZI Pierre Andreas Tendean tewas dalam usaha pembunuhan tersebut.
Selain itu beberapa orang lainnya juga turut menjadi korban:
Para korban tersebut kemudian dibuang ke suatu lokasi di Pondok GedeJakarta yang dikenal sebagai Lubang Buaya. Mayat mereka ditemukan pada 3 Oktober.
Pasca kejadian

Pemakaman para pahlawan revolusi. Tampak Mayjen Soeharto di sebelah kanan
Pada tanggal 1 Oktober 1965 Sukarno dan sekretaris jendral PKI Aidit menanggapi pembentukanDewan Revolusioner oleh para "pemberontak" dengan berpindah ke Pangkalan Angkatan Udara Halim di Jakarta untuk mencari perlindungan.
Pada tanggal 6 Oktober Sukarno mengimbau rakyat untuk menciptakan "persatuan nasional", yaitu persatuan antara angkatan bersenjata dan para korbannya, dan penghentian kekerasan. Biro Politik dari Komite Sentral PKI segera menganjurkan semua anggota dan organisasi-organisasi massa untuk mendukung "pemimpin revolusi Indonesia" dan tidak melawan angkatan bersenjata. Pernyataan ini dicetak ulang di koran CPA bernama "Tribune".
Pada tanggal 12 Oktober 1965, pemimpin-pemimpin Uni-Sovyet BrezhnevMikoyan dan Kosyginmengirim pesan khusus untuk Sukarno: "Kita dan rekan-rekan kita bergembira untuk mendengar bahwa kesehatan anda telah membaik...Kita mendengar dengan penuh minat tentang pidato anda di radio kepada seluruh rakyat Indonesia untuk tetap tenang dan menghindari kekacauan...Imbauan ini akan dimengerti secara mendalam."
Pada tanggal 16 Oktober 1965, Sukarno melantik Mayjen Suharto menjadi Menteri/Panglima Angkatan Darat di Istana Negara. Berikut kutipan amanat presiden Sukarno kepada Suharto pada saat Suharto disumpah[5]:
Saya perintahkan kepada Jenderal Mayor Soeharto, sekarang Angkatan Darat pimpinannya saya berikan kepadamu, buatlah Angkatan Darat ini satu Angkatan dari pada Republik Indonesia, Angkatan Bersenjata daripada Republik Indonesia yang sama sekali menjalankan Panca Azimat Revolusi, yang sama sekali berdiri diatas Trisakti, yang sama sekali berdiri diatas Nasakom, yang sama sekali berdiri diatas prinsip Berdikari, yang sama sekali berdiri atas prinsip Manipol-USDEK.
Manipol-USDEK telah ditentukan oleh lembaga kita yang tertinggi sebagai haluan negara Republik Indonesia. Dan oleh karena Manipol-USDEK ini adalah haluan daripada negara Republik Indonesia, maka dia harus dijunjung tinggi, dijalankan, dipupuk oleh semua kita. Oleh Angkatan Darat, Angkatan Laut, Angkatan Udara, Angkatan Kepolisian Negara. Hanya jikalau kita berdiri benar-benar di atas Panca Azimat ini, kita semuanya, maka barulah revousi kita bisa jaya.
Soeharto, sebagai panglima Angkatan Darat, dan sebagai Menteri dalam kabinetku, saya perintahkan engkau, kerjakan apa yang kuperintahkan kepadamu dengan sebaik-baiknya. Saya doakan Tuhan selalu beserta kita dan beserta engkau!
Dalam sebuah Konferensi Tiga Benua di Havana di bulan Februari 1966, perwakilan Uni-Sovyet berusaha dengan segala kemampuan mereka untuk menghindari pengutukan atas penangkapan dan pembunuhan orang-orang yang dituduh sebagai PKI, yang sedang terjadi terhadap rakyat Indonesia. Pendirian mereka mendapatkan pujian dari rejim Suharto. Parlemen Indonesia mengesahkan resolusi pada tanggal 11 Februari, menyatakan "penghargaan penuh" atas usaha-usaha perwakilan-perwakilan dari Nepal, Mongolia, Uni-Sovyet dan negara-negara lain di Konperensi Solidaritas Negara-Negara Afrika, Asia dan Amerika Latin, yang berhasil menetralisir usaha-usaha para kontra-revolusioner apa yang dinamakan pergerakan 30 September, dan para pemimpin dan pelindung mereka, untuk bercampur-tangan di dalam urusan dalam negeri Indonesia."

Penangkapan dan pembantaian


Penangkapan Simpatisan PKI
Dalam bulan-bulan setelah peristiwa ini, semua anggota dan pendukung PKI, atau mereka yang dianggap sebagai anggota dan simpatisan PKI, semua partai kelas buruh yang diketahui dan ratusan ribu pekerja dan petani Indonesia yang lain dibunuh atau dimasukkan ke kamp-kamp tahanan untuk disiksa dan diinterogasi. Pembunuhan-pembunuhan ini terjadi di Jawa Tengah(bulan Oktober), Jawa Timur (bulan November) dan Bali (bulan Desember). Berapa jumlah orang yang dibantai tidak diketahui dengan persis - perkiraan yang konservatif menyebutkan 500.000 orang, sementara perkiraan lain menyebut dua sampai tiga juga orang. Namun diduga setidak-tidaknya satu juta orang menjadi korban dalam bencana enam bulan yang mengikuti kudeta itu.
Dihasut dan dibantu oleh tentara, kelompok-kelompok pemuda dari organisasi-organisasi muslimsayap-kanan seperti barisan Ansor NU dan Tameng Marhaenis PNI melakukan pembunuhan-pembunuhan massal, terutama di Jawa Tengah dan Jawa Timur. Ada laporan-laporan bahwaSungai Brantas di dekat Surabaya menjadi penuh mayat-mayat sampai di tempat-tempat tertentu sungai itu "terbendung mayat".
Pada akhir 1965, antara 500.000 dan satu juta anggota-anggota dan pendukung-pendukung PKI telah menjadi korban pembunuhan dan ratusan ribu lainnya dipenjarakan di kamp-kamp konsentrasi, tanpa adanya perlawanan sama sekali. Sewaktu regu-regu militer yang didukung dana CIA [1] menangkapi semua anggota dan pendukung PKI yang terketahui dan melakukan pembantaian keji terhadap mereka, majalah "Time" memberitakan:
"Pembunuhan-pembunuhan itu dilakukan dalam skala yang sedemikian sehingga pembuangan mayat menyebabkan persoalan sanitasi yang serius di Sumatra Utara, di mana udara yang lembab membawa bau mayat membusuk. Orang-orang dari daerah-daerah ini bercerita kepada kita tentang sungai-sungai kecil yang benar-benar terbendung oleh mayat-mayat. Transportasi sungai menjadi terhambat secara serius."
Di pulau Bali, yang sebelum itu dianggap sebagai kubu PKI, paling sedikit 35.000 orang menjadi korban di permulaan 1966. Di sana para Tamin, pasukan komando elite Partai Nasional Indonesia, adalah pelaku pembunuhan-pembunuhan ini. Koresponden khusus dari Frankfurter Allgemeine Zeitung bercerita tentang mayat-mayat di pinggir jalan atau dibuang ke dalam galian-galian dan tentang desa-desa yang separuh dibakar di mana para petani tidak berani meninggalkan kerangka-kerangka rumah mereka yang sudah hangus.
Di daerah-daerah lain, para terdakwa dipaksa untuk membunuh teman-teman mereka untuk membuktikan kesetiaan mereka. Di kota-kota besar pemburuan-pemburuan rasialis "anti-Tionghoa" terjadi. Pekerja-pekerja dan pegawai-pegawai pemerintah yang mengadakan aksi mogok sebagai protes atas kejadian-kejadian kontra-revolusioner ini dipecat.
Paling sedikit 250,000 orang pekerja dan petani dipenjarakan di kamp-kamp konsentrasi. Diperkirakan sekitar 110,000 orang masih dipenjarakan sebagai tahanan politik pada akhir 1969. Eksekusi-eksekusi masih dilakukan sampai sekarang, termasuk belasan orang sejak tahun 1980-an. Empat tapol, Johannes Surono Hadiwiyino, Safar Suryanto, Simon Petrus Sulaeman dan Nobertus Rohayan, dihukum mati hampir 25 tahun sejak kudeta itu.

Supersemar

Lima bulan setelah itu, pada tanggal 11 Maret 1966, Sukarno memberi Suharto kekuasaan tak terbatas melalui Surat Perintah Sebelas Maret. Ia memerintah Suharto untuk mengambil "langkah-langkah yang sesuai" untuk mengembalikan ketenangan dan untuk melindungi keamanan pribadi dan wibawanya. Kekuatan tak terbatas ini pertama kali digunakan oleh Suharto untuk melarang PKI. Sebagai penghargaan atas jasa-jasanya, Sukarno dipertahankan sebagai presiden tituler diktatur militer itu sampai Maret 1967.
Kepemimpinan PKI terus mengimbau massa agar menuruti kewenangan rejim Sukarno-Suharto. Aidit, yang telah melarikan diri, ditangkap dan dibunuh oleh TNI pada tanggal 24 November, tetapi pekerjaannya diteruskan oleh Sekretaris Kedua PKI Nyoto.


Pertemuan Jenewa, Swiss

Menyusul peralihan tampuk kekuasaan ke tangan Suharto, diselenggarakan pertemuan antara para ekonom orde baru dengan para CEO korporasi multinasional di Swiss, pada bulan Nopember 1967. Korporasi multinasional diantaranya diwakili perusahaan-perusahaan minyak dan bank, General Motors, Imperial Chemical Industries, British Leyland, British American Tobacco, American Express, Siemens, Goodyear, The International Paper Corporation, US Steel, ICI, Leman Brothers, Asian Development Bank, dan Chase Manhattan. Tim Ekonomi Indonesia menawarkan: tenaga buruh yang banyak dan murah, cadangan dan sumber daya alam yang melimpah, dan pasar yang besar.
Hal ini didokumentasikan oleh Jhon Pilger dalam film The New Rulers of World (tersedia di situs video google) yang menggambarkan bagaimana kekayaan alam Indonesia dibagi-bagi bagaikan rampasan perang oleh perusahaan asing pasca jatuhnya Soekarno. Freeport mendapat emas di Papua Barat, Caltex mendapatkan ladang minyak di Riau, Mobil Oil mendapatkan ladang gas di Natuna, perusahaan lain mendapat hutan tropis. Kebijakan ekonomi pro liberal sejak saat itu diterapkan.

Peringatan


Monumen Pancasila Sakti, Lubang Buaya
Sesudah kejadian tersebut, 30 September diperingati sebagai Hari Peringatan Gerakan 30 September. Hari berikutnya, 1 Oktober, ditetapkan sebagai Hari Kesaktian Pancasila. Pada masa pemerintahan Soeharto, biasanya sebuah film mengenai kejadian tersebut juga ditayangkan di seluruh stasiun televisi di Indonesia setiap tahun pada tanggal 30 September. Selain itu pada masa Soeharto biasanya dilakukan upacara bendera di Monumen Pancasila Sakti di Lubang Buaya dan dilanjutkan dengan tabur bunga di makam para pahlawan revolusi di TMP Kalibata. Namun sejak era Reformasi bergulir, film itu sudah tidak ditayangkan lagi dan hanya tradisi tabur bunga yang dilanjutkan.
Pada 29 September - 4 Oktober 2006, diadakan rangkaian acara peringatan untuk mengenang peristiwa pembunuhan terhadap ratusan ribu hingga jutaan jiwa di berbagai pelosok Indonesia. Acara yang bertajuk "Pekan Seni Budaya dalam rangka memperingati 40 tahun tragedi kemanusiaan 1965" ini berlangsung di Fakultas Ilmu Budaya Universitas IndonesiaDepok. Selain civitas academica Universitas Indonesia, acara itu juga dihadiri para korban tragedi kemanusiaan 1965, antara lain Setiadi, Murad Aidit, Haryo Sasongko, Sasuke, dan Putmainah.